Sabtu, 20 Juni 2009

Cintanya Rasullulah SAW

Assalamu ‘alaikum Warahmatullhi Wabarakatuh..
Bism ilLah wa lhamdu li lLah washshalatu wassalamu ‘ala rasuli lLah wa ‘ala alihi wa ashhabihi wa ma wwalah, amma ba’d, Sejenak mengingat hari esok ditengah kesibukan, dan kehingar bingaran suasana di dalam kehidupan kita semua. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua,…Amin….


Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai menguning,burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap :

Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur’an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku.”

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.

“Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang.”Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

“Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril lagi. “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ” Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya,” kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”

Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu.”

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.“Ummatii, ummatii, ummatiii” - “Umatku, umatku, umatku”

Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi

* * *
Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. Kirimkan kepada sahabat-2 muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencinta kita. Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka.

Subhanakallahumma wa bihamdiKa asyhadu allaa Ilaaha illa Anta,
astaghfiruKa wa atubu ilaik.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

BUAT BUNDA TERTAWA

Saat kita masih dalam buaian, dengan bersimbah keringat dan badan pegal-pegal, ibu bisa berjam-jam menggendong kita hanya agar jerit tangis terhenti, agar membias senyuman indah di bibir kita. Kala itu, rasa pegal-pegal di bagian punggungnya atau rasa sakit di pinggang dan lehernya, sudah tidak dirasakan lagi. Senyuman kita, bagi seorang ibu, adalah hadiah mahal yang mau dia bayar dengan apapun juga.

Saat usia sudah mulai menggerogoti kekuatan fisik seorang ibu, teronggaklah dia menjadi orang tua yang serba pasrah menerima segalanya. Ia hanya terus berharap, agar segala upayanya selama ini tidak sia-sia. Agar anaknya bisa hidup berbahagia lebih beruntung dari dirinya. Meski demikian, tali kasih itu ternyata tidak pernah terputus. Dengan merangkak pun dia siap, untuk mendatangi kediaman anaknya yang amat jauh, demi berkesempatan melihat wajah anaknya yang ceria, demi memastikan bahwa anaknya itu masih baik-baik saja.

Dengan realitas itu seorang anak harus sedikit tahu diri. Ia sudah sepatutnya bekerja keras untuk dapat membahagiakan orang tuanya, terutama sang ibu, sebagaimana ibunya telah berusaha membahagiakannya. Seorang ibu mungkin tidak pernah mengharapkan apa-apa. Namun lubuk hatinya, teramat membutuhkan siraman kebahagiaan melalui tawa dan canda.

“Abdulah bin Amru, suatu hari datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalla. Isa berkata, ‘Duhai Rasulullah! Aku sangat ingin berhijrah bersamamu. Namun tadi, aku meninggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis. Apa yang harus kulakukan’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Pulanglah. Buatlah mereka tertawa, sebagaimana engkau telah membuatnya menangis.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya II: 63, Abu Dawud II: 17, Ibnu Majah II: 930, dan Ahmad I: 160)

Berupayalah untuk membuat sang ibu tertawa bahagia. Umumnya, pekerjaan itu hanya membutuhkan secercah keikhlasan. Sepucuk surat yang memuat doa hangat, sapaan santun dan sedikit basa-basi menceritakan kabar-kabar terkini sang anak, sudah cukup untuk membuat ibu menyunggingkan senyuman,bahkan terkadang, memaksanya meneteskan airmata naru.

Berupayalah untuk membuat sang ibu tertawa berbahagia. Bisa jadi, terkadang kita harus merelakan biaya cukup besar dikuras dari kantong kita, hanya untuk bisa berjumpa dengan sang ibu. Bahkan, waktu berjam-jam mungkin malah berhari-hari, harus kita habiskan di perjalanan menuju kediamannya. Tapi sadarlah, bahwa kebahagiaan sang ibu adalah kebahagiaan kita juga. Sebesar apapun biaya itu tetap tak ada nilainya, bila dibandingkan doa tulus yang keluar dari mulutnya, ‘Mudah-mudahan, kamu murah rezeki.’

Duhg, dentuman keras seperti membelah jantung, saat kita sadar, bahwa doa itu keluar dari mulut wanita agung yang bukan lebih berkecukupan dibandingkan kita, yang selayaknya doa itu diperuntukkan bagi dirinya sendiri, atau justru keluar dari mulut kita untuk si ibu yang terkasih. Tapi, tampaknya luapan kasihnya yang tidak terbentung, membuatnya mampu untuk lebnih enteng mengucapkan doa mulia tersebut, ketimbang kita…

Berupayalah untuk membuat sang ibu tersenyum bahagia. Di hari-hari tua itu mereka akan sangat membutuhkan hiburan kita.

Surat untuk Ibu:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ibunda. Maafkan kami, bila kurang mengisi hari-harimu dengan tawa.

Maafkan kami, bila kurang mampu membuatmu berbagahagia.

Bahkan kamipun tahu, banyak tindakan dan ucapan kami yang telah membuat hatimu terluka. Demi Allah, kami menyesali semuaitu. Tertawalah bunda, agar hari-hari kamipun menjadi semakin ceria..